Gubernur Jabar Dedi Mulyadi: “Manusia adalah makhluk kasar, bukan makhluk halus”
Bogor – Dalam peringatan Hari Jadi Bogor (HJB) ke-543 yang berlangsung dengan penuh khidmat dan semangat kebudayaan di lapangan Tegar Beriman pada tanggal 3 Juni 2025, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyampaikan pidato inspiratif yang mengangkat nilai-nilai kepemimpinan Sunda, akar peradaban, serta pentingnya menjaga alam dan budaya sebagai warisan tak ternilai.Sumber Foto : bogor24update.id
Dalam pembukaannya, Kang Dedi Mulyadi (KDM) menyinggung tokoh agung dalam sejarah Sunda, yaitu Sri Baduga Maharaja yang dikenal pula dengan berbagai nama seperti Pamanahrasa, Ratu Haji, Jayadewata, dan memiliki sifat Siliwangi. Ia menekankan bahwa seorang pemimpin tidak seharusnya meletakkan kerangka kehidupannya hanya pada bangunan tinggi, jalan lebar, atau sektor ekonomi semata. “Pemimpin sejati adalah mereka yang menempatkan namanya di hati rakyat, menjadi bagian dari sejarah yang abadi,” ucapnya.
Sebagai manifestasi dari semangat ini, KDM menyebutkan bahwa Kodam III/Siliwangi lahir dari semangat kepemimpinan Jayadewata yang menempatkan rakyat sebagai pusat kehidupan, bukan sekadar pencapaian fisik atau material.
Dalam kesempatan tersebut, KDM menyambut sejumlah tokoh penting yang hadir, di antaranya Anggota DPR-RI Dapil Jawa Barat V, Ravindra Erlangga Hartarto, Bupati Bogor Rudi Susmanto, Wakil Bupati Ade Ruhandi (Jaro), serta Forkopimda Kabupaten Bogor. Jajaran pejabat tinggi seperti Kapolres, Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri dan Agama, perwakilan Lanud Atang Sanjaya, serta para tokoh agama, adat, dan mantan Bupati (Nurhayati) dan PJ Bupati termasuk Asmawa Tosepu dan Bachril Bakri, juga turut hadir.
Gunung Salak: Pusaka Bogor yang Harus Dijaga
Memasuki isi pidatonya, KDM menegaskan bahwa pusaka utama dari Bogor adalah Gunung Salaka atau disebut Gunung Salak. Gunung ini bukan hanya simbol, melainkan sumber kehidupan—dari udara segar, sungai yang mengalir, hingga lanskap alam yang menyejukkan. Gunung Salak adalah paru-paru kehidupan. Dari sinilah peradaban lama dibangun, bahkan hingga bangsa kolonial seperti Inggris dan Belanda menjadikan Bogor pusat peradaban dengan membangun Istana Batu Tulis, tuturnya.
Batu Tulis, menurut KDM ini, adalah simbol kepemimpinan sejati—bukan yang mengukir pembangunan di atas air, tetapi yang menuliskan fondasi dalam batu sejarah.
Pesan Kepemimpinan: Jangan Mengejar Popularitas, Tapi Warisan
Dalam pidato bernuansa filosofis itu, KDM juga mengingatkan bahwa pemimpin tidak boleh hanya mengejar pendekatan jangka pendek dan popularitas. “Lebih baik kita kehilangan elektabilitas, asal kita bisa membangun kerangka besar bagi masa depan rakyat,” ujarnya. Pemimpin, lanjutnya, harus berani menerjang badai, demi membangun sendi-sendi kehidupan yang kokoh.
Ia menyebut prinsip kepemimpinan Sunda yang luhur: bisa ngurus bumi, bisa ngapak mega, bisa leumpang dina luhur cai. Ngurus bumi artinya memahami keinginan publik dari suara nurani, bukan dari suara media sosial. Ngapak mega berarti melihat semuanya dari atas, dari perspektif luas tanpa membeda-bedakan si kaya dan miskin. Leumpang dina luhur cai adalah tentang keberanian untuk berdiri di semua golongan tanpa membeda-bedakan, serta menyatukan berbagai kelompok masyarakat.
Bahasa Sunda: Antara Kasar dan Halus
Mengenai bahasa dan budaya, KDM memberikan pandangan menarik. Ia menyatakan bahwa bahasa Sunda sejatinya adalah bahasa halus, namun dalam praktiknya tidak semua orang bisa menggunakannya. “Jangan merasa rendah diri karena tidak bisa berbahasa halus. Justru bahasa kasar itu adalah jati diri manusia. Manusia adalah makhluk kasar, bukan makhluk halus,” katanya sambil mengajak masyarakat Bogor untuk bangga dengan identitasnya.
Ia juga menyampaikan bahwa tidak ada bahasa kasar atau halus, melainkan bahasa wewengkon—bahasa yang memiliki rasa dan makna sesuai dengan wilayah dan nilai lokal masing-masing.
Nasionalisme dan Mental Penjajah
Dalam bagian lain pidatonya, KDM juga menyinggung tentang nasionalisme. Ia mengatakan bahwa rakyat Indonesia anti terhadap penjajahan. Namun, mental penjajah tidak hanya datang dari bangsa asing. “Bisa jadi justru orang pribumi sendiri yang punya mental penjajah,” ujarnya. Maka menurutnya, manusia tidak boleh dinilai dari asalnya, tetapi dari rasa dan cinta yang dimilikinya terhadap tanah air.
Pembangunan Harus Berpihak pada Alam
Pidato KDM di Hari Jadi Bogor ke-543 bukan hanya menjadi refleksi sejarah, tetapi juga pesan kuat tentang kepemimpinan yang berakar pada nilai budaya, kelestarian alam, dan rasa cinta terhadap rakyat. Sebuah pesan yang relevan, membumi, dan menginspirasi bagi masa depan Jawa Barat dan Indonesia.
KDM menutup pidatonya dengan hasil riset pribadi yang menyatakan bahwa tidak ada daerah yang makmur jika alamnya rusak. Ia mengajak masyarakat Bogor untuk kembali pada jati dirinya, menjaga alam dan budayanya, serta bangga menjadi orang Bogor. “Berbahagialah menjadi urang Bogor, karena Bogor adalah tanah pusakanya orang Sunda,” pungkasnya.***
Komentar
Posting Komentar